DARI ENAM MENJADI SEMBILAN


Ujian Nasional, sebUah program pemerintah yang rutin diselenggarakan ini selalu menjadi momok bagi para pelajar. Setiap tahun selalu saja ada yang menjadi korban keganasan UN. Standar kelulusan yang terus meningkat membuat kita ingin segera menyelesaikan agar tidak menjadi lebih berat lagi.
Hal serupa juga pernah saya rasakan dan alami ketka saya SMP. Itu adalah pengalam pertama dalam hidup saya. Banyak kabar burung yang menertai jalannya Ujian Nasional. Rasa ingin menyerah sudah siap siaga di garis start menuju pada diri saya sendiri.
Berbagai upaya selalu dilaksanakan oleh pihak sekolah untuk menjamin kelulusan siswa-siswanya. Try ouy-try out yang dimulai dari pihak intern hingga tingkat kabupaten telah disuguhkan dalam bingkisan yang sangat manis berupa butiran-butiran soal yang harus dipecahkan. Melihan dari hasil try out pertama dan kedua, hati saya masih ragu untuk bisa lulus UN. Berbagai upaya yang selain diselenggarakan sekolah tak pelak saya lakukan juga. Demi mendapatkan selembar kertas yang tak semua orang bisa dapatkan. Betapa harus saya ini bersyukur. Celakalah mereka yang menyia-nyiakannya.
Kumpulan soal-soal setebal lima sentimeter, saya tuntut setiap hari untuk menyelesaikannya. Diskusi dengan teman nampaknya harus menjadi sebuah rutinitas yang harus dilakukan. Jika siswa sudah buntu untuk menjawab soal, maka guru-guru siap siaga untuk membantu. Penjelasan yang diberikan memudahkan saya untuk menyelesaikan tugas sejenis. Dan metode to tour sebaya sengaja diterapkan agar siswa bisa lebih mendapatkan chemistry dengan siswa lain.
Beberapa minggu menjelang UN, saya mencoba-coba melihat ijazah SMP salah satu kakak saya. Lembar demi lembar saya telaah, akhirnya saya menemukan sebuah kertas yang memuat daftar nilai hasil ujiannya. Saya sangat bangga karena dia mendapatkan nilai 9 untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal pelajaran itu bisa lebih menjebak dari matematika. Muncul kepenasaran dalam diri saya tentang bagaimana hingga akhirnya dia bisa mendapatkan nilai besar itu. Kemudian saya tanyakan hal tersebut padanya melalui SMS. Dia membalas dengan beberapa petuah yang nampaknya harus saya lakukan :
“Jangan lupa untuk sholat, bersikap baik pada orang tua, berdoa terus kepadanya, Insyaalloh nilai 6 yang kamu dapatkan akan mejadi 9”
Itulah kira-kira isi pesannya. 6,80 adalah nilai yang saya dapatkan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia di TO kedua. Turun dari hasil TO pertama yang mendapatkan 7,00, kecewa memang.
Petuah-petuah itu semaksimal mungkin saya lakukan. Perasaan ikhlas harus saya terapkan dalam melaksanakannya agar mendapatkan ridho Alloh SWT, agar apa yang saya lakukan tidak sia-sia. Dan pada suatu hari, saudara saya memberikan sebuah aplikasi yang memuat kumpulan soal-soal UN beberapa tahun kebelakang. Saya sangat terbantu ddengan aplikasi tersebut.
Kini tiba saatnya momok itu menunjukan batang hidungnya. Sudahlah cukup bagi saya dijejali dengan berpuluh-puluh atau berates-ratus soal. Saya sudah siap untuk menghadapi ujian yang sebenarnya. Was-was terus saja membututi hati yang memang terus gelisah ini. Namun saya harus yakin pada kemampuan diri saya sendiri bahwa saya bisa melaksanakan ujian ini dengan baik. Dan takdir menggoreskan bahwa pada hari kedua ujian itu bertepatan dengan hari ulang tahun saya. Pelajaran bahasa Indonesia menjadi kado yang tidak akan pernah aya dapatkan sebelumnya. Sebuah kado yang sangat berkesan dalam hidup saya.
Semua ujian telah dijalani dan kini saya harus melalui hari-hari tanpa ketenangan sebelum mengetahui apakah saya lulus atau tidak. Persiapan mental harus terus saya lakukan untuk kemungkinan terburuk yag akan saya dapatkan.”TIDAK LULUS”
Hari yang menegangkan itu akhirnya tiba juga. Pada hari itu, semua kecemasan akan segera sirna dan terungkap, menyibak takdirnya. Sebelum pengumuman diedarkan, terlebih dahulu saya dipanggil oleh kepala sekolah dan dia memberitahukan bahwa saya mendapat peringkat 1 UN tingkat kabupaten Ciamis. Rasa syukur langsung saya panjatkan pada-Nya. Namun saya tidak langsung berbahagia, karena saya takut jika Dani itu bukan saya yang dimaksud karena ada dua Dani pada angkatan saya.
Pengumuman resmi pun dikumandangkan. Dan ternyata benar memang Dani Hamdani. Saya sangat bahagia saat itu. Perjuangan saya dari pulang sore setiap hari, rasa lelah, capek, jenuh, nafsu, mengerjakan soal-soal, menjalankan petuah-petuah kaka, duduk berjam-jam di depan computer, saling berselisih paham dengen teman hanya karena satu buah soal, suka duka yang dilalui bersama teman-teman seolah-olah terbalaskan semua. Ini yang saya dapatkan, ini yang sangat saya bambakan, dan ini lebih dari apa yang saya inginkan. Seberapa besar usaha yang kita lakukanu untuk satu tujuan, maka sebesar itu pula ita dapatkan hasilnya atau mungkin lebih.

Dani Hamdani
XI IPS 3

0 cerewetan: